Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini
Kita hampir paripurna jadi bangsa
porak poranda,
terbungkuk dibebani hutang dan
merayap melata sengsara didunia.
Penganggur 40 juta
orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid,
pecandu
narkoba 6 juta, pengungsi 1 juta, VCD koitus 20 juta keping,
beban hutang dibahu 160 trilyun dan
kriminalitas merebak disetiap tikungan jalan,
Sebagai bangsa kita dibelah dan
dipecah, tiang hukum berdiri goyah,
represi opini dulu 39
tahun lamanya kini jadi lepas bablas, massa mudah marah,
gampang
membakar, dan ringan membunuh.
Harga semua barang
naik.
Harga yang turun dan murah masih
ada satu, yaitu harga nyawa.
Dalam semua hal
Indonesia sudah
mirip neraka, dan sorga satu-satunya yang kita
miliki
adalah sorga ponografi piring cakram vcd bajakan di dunia,
Batas halal dan haram di negri kita
sudah tidak jelas, seperti benang hitam
terbentang di hutan
gelap jam satu malam. Bergerak ke kiri ketabrak copet,
bergerak
ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, yang
di belakang tukang peras, yang
diatas tukang tindas.
Untuk bisa bertahan berakal waras
saja di Indonesia kini,
sudah untung,
Pergelangan tangan dan kaki
Indonesia diborgol
di ruang tamu Kantor
Pegadaian Jagat Raya, dan
dipunggung kita kaos oblong dicap sablon
besar-besar : Tahanan
IMF dan Bank Dunia.
Kita sudah jadi bangsa kuli dan
babu di dunia, diusir pula di tangga pelabuhan
terapung-apung di
lautan,
Kita sudah tidak merdeka lagi.
Indonesia sudah
masuk ke dalam masa
kolonialisme baru, dengan penjajah
yang banyak negara sekaligus,
Nilai-nilai luhur telah luluh
lantak, berkeping-keping dan hancur,
berserakan di kubangan
lumpur,
Kening saya mungkin masih ingin
jadi cermin keimanan, tapi sepatu dan
celana saya terbenam
dan terpecik lumpur tipu-menipu,
Hati saya rindu pada nilai
keterus-terangan, tapi setiap hari saya terus
berdusta,
langsung dan tak langsung, di belakang orang dan bermuka-muka,
Nilai ketertiban ingin saya
tegakkan, tapi bila lampu merah di simpang jalan
menyala,
dan mobil-mobil di belakang saya bising dengan klaksonnya, saya
pun
melanggar lampu merah itu tanpa
rasa bersalah,
Nilai sedekah saya hitung dengan
akuntansi pahala dan publikasi media massa.
Kalau
sumbangan saya tidak mendapat di halaman depan atau diliput kamera
tayangan berita, sifat ingin
menonjol saya tidak sudi dikorbankan,
Nilai ikhlas dalam beramal, saya
campur-adukkan dengan sifat riya', karena
saya gemar benar
mengatakan dan menunjukkan kepada teman-teman saya, bahwa
saya pemegang medali emas, pemenang
nomer satu dalam olimpiade keikhlasan,
Nilai kejujuran saya tegakan
mati-matian untuk seluruh bangsa, tapi kalau
kawan-kawan menawarkan
proyek dengan mark-up setinggi pohon kelapa, atau
apa saja
sepak-terjang yang melibatkan pemasukan uang, demi ideologi nilai
kejujuran itu saya skors
sementara,
Nilai kerja-keras bercucuran peluh
selalu saya ajarkan kepada
anak-cucu-kemenakan saya, tapi
sebenarnya dalam praktek sehari-hari jalan
memotong yang saya
kerjakan, dan itu saya sembunyikan,
Nilai menghargai nyawa manusia,
heran sekali saya, pudar dalam diri saya.
Melihat anak muda
dipukuli massa,
lembam-lembam, berdarah-darah tak
berdaya, karena
ketahuan melarikan motor bukan miliknya, kemudian tergeletak
sebagai mayat, saya tidak haru lagi
seperti lima tahun
yang lalu. Saya pergi saja
dari kerumunan
massa yang
pemarah itu, yang tak bertanya a atau u,
Saya sudah kebal. Saya sudah
kebal.
Kemudian sore ini saudara saya
bertanya pada saya, bagaimana jati diri saya?
Saya beberapa detik memandang
saudara. Ini mengejek, menyindir, menusuk
perasaan, atau apa
?
Lihat saja sepatu saya berkubang
lumpur, celana saya terpecik lumpur
bercampur air selokan
kumuh, wajah saya keruh, pusat susunan syaraf saya
berlumpur,
hati saya berbalut lumpur. Cukup ?
Sekarang tolong saya membersihkan
ini semua. Tolong. Jangan saya beri
teori, dikuliahi itu
dan ini, dinasihati dengan petuah-petuah zaman kiwari.
Cukup,
cukup, cukup.
Telanjangi saya sekarang dan
mandikan saya bersih-bersih. Tolong.
Sumber: Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini, Puisi karangan Taufiq
Ismail